Delapan Hakikat Pandangan Islam terhadap Sistem Riba

Hakikat rusaknya riba

Allah berfirman:

اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ – ٢٧٥

Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa pun yang telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya (menyangkut riba), lalu dia berhenti sehingga apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (transaksi riba), mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah 2:275)

Rusaknya sistem ribawi sudah dibahas pada bagian lain. Dalam tulisan ini akan dibahas pokok-pokok atau hakikat-hakikat pandangan Islam pada sistem riba, sehingga dapat menjadi pengingat sekaligus panduan umat Islam untuk menjadi muslim sejati.

Hakikat pertama, yang wajib diyakini adalah bahwa Islam tidak berdiri bersama sistem riba di tempat mana pun. Kalau ada pendapat selain ini yang dikatakan oleh ahli fatwa atau tokoh agama, maka pendapat itu adalah bohong dan penipuan. Karena prinsip tashawwur islami berbenturan secara langsung dengan sistem riba dan akibat-akibat praktisnya dalam kehidupan manusia, pemikiran-pemikirannya, dan akhlaknya.

Hakikat kedua, sistem riba merupakan malapetaka terhadap kemanusiaan yang bukan hanya dalam bidang keimanan, akhlak, dan pandangannya terhadap kehidupan saja. Tetapi, juga di dalam dasar kehidupan ekonominya. Sistem riba merupakan sistem terburuk yang menghapuskan kebahagiaan manusia dan menghambat pertumbuhannya sebagai manusia yang seimbang. Kendatipun, ada kesan yang menipu, yang tampak seolah-olah sistem ini membantu pertumbuhan ekonomi umum.

Hakikat ketiga, sistem akhlak dan sistem perekonomian dalam Islam sangat berkaitan, dan bahwa manusia dalam semua tindakannya selalu terikat dengan janji kekhalifahan dan syaratnya. Manusia akan dicoba dan diuji dalam setiap kegiatan yang dilakukan di dalam kehidupannya dan akan dihisab atas perbuatannya kelak di akhirat. Karena itu, tidak ada sistem akhlak yang terpisah dari sistem perekonomian. Keduanya secara bersama-sama menyusun aktivitas manusia. Keduanya merupakan ibadah yang diberi pahala bagi pelakunya bila dilakukan dengan baik, dan terkena dosa apabila dia berbuat buruk. Sesungguhnya, perekonomian Islam yang berhasil tidak bisa berdiri tanpa akhlak. Dan, akhlak bukanlah amal yang boleh diabaikan bila kehidupan amaliah manusia ingin berhasil.

Hakikat keempat, muamalah (bisnis) dengan sistem riba hanya akan merusak hati nurani manusia dan budi pekertinya serta perasaannya terhadap saudaranya di dalam kelompok. Selain itu juga akan merusak kehidupan kelompok manusia dengan semua yang disebarkannya baik berupa kerakusan, ketamakan, kepentingan pribadi, penipuan, maupun pertaruhan secara umum (judi).

Adapun pada zaman modern, sistem riba dianggap sebagai pendorong utama untuk mengarahkan modal kepada jenis-jenis penanamannya yang kotor supaya modal yang dipinjam dengan sistem riba dapat mendatangkan keuntungan yang pasti. Maka, kelak peminjam akan membayar bunganya dan mengembalikan pinjamannya lebih banyak. Uang yang dipinjam dengan riba tidak dimaksudkan untuk mendirikan proyek-proyek yang paling bermanfaat bagi manusia. Tetapi, dimaksudkan untuk mendatangkan keuntungan sebanyak-banyaknya (profit oriented) untuk menjerat leher para peminjam. Inilah kenyataan-kenyataan yang ada sekarang di muka bumi. Hampir semua bisnis melekat dengan praktek riba.

Hakikat kelima, Islam adalah sistem yang saling melengkapi. Ketika ia mengharamkan bisnis dengan sistem riba, ia menegakkan semua peraturannya pada prinsip yang sama sekali tidak memerlukan riba. Lalu, diaturnya sisi-sisi kehidupan sosial yang tidak memerlukan bisnis sistem riba ini, dimana pertumbuhan ekonomi, sosial, dan kemanusiaan yang bersifat umum dapat tetap berjalan.

Hakikat keenam, Islam [ketika diberi kesempatan mengatur kehidupan manusia sesuai dengan pandangannya dan manhajnya yang khusus] pada waktu membuang sistem riba, tidak perlu membatalkan badan-badan usaha dan sarana-sarana yang lazim bagi kehidupan ekonomi modern dengan pertumbuhannya yang alami (wajar) dan benar. Akan tetapi, ia hanya hendak membersihkannya dari kotoran riba dan nodanya. Kemudian, membiarkannya bekerja sesuai dengan kaidah-kaidah lain yang sehat.

Hakikat ketujuh, yang terpenting adalah keharusan iktikad orang yang ingin menjadi muslim sejati. Yaitu, mengiktikadkan kemustahilan Allah mengharamkan sesuatu yang kehidupan manusia tidak dapat berlangsung dan tidak dapat maju tanpanya. Juga harus mengiktikadkan kemustahilan bahwa terdapat sesuatu yang buruk, tetapi pada waktu yang sama ia merupakan unsur yang memastikan keberlangsungan dan kemajuan hidup.

Allah SWT adalah yang menciptakan kehidupan ini. Dia yang menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi, yang memerintahkan dikembangkan dan ditingkatkannya kehidupan ini, yang menghendaki ini semua, dan yang memberi taufik kepada mereka. Karena itu, mustahillah dalam persepsi seorang muslim bahwa pada apa yang diharamkan Allah itu terdapat sesuatu yang kehidupan manusia tidak dapat berlangsung dan tidak dapat maju tanpanya. Mustahil terdapat sesuatu yang amat buruk tapi ia menjadi faktor penentu keberlangsungan dan peningkatan kehidupan. Pemikiran semacam ini merupakan pemikiran yang buruk. Pemahaman rancu, beracun, dan amat buruk serta melampaui batas yang terus berusaha ditebarkan ke dalam benak generasi anak manusia ialah persepsi bahwa riba itu merupakan suatu kebutuhan pokok bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Juga persepsi bahwa sistem riba juga merupakan sistem yang alami dan wajar. Pikiran yang penuh tipu daya ini telah menyebar di sumber-sumber kebudayaan umum dan pengetahuan manusia di dunia Timur dan Barat.

Berlangsungnya kehidupan modern yang penuh praktek riba adalah dengan mengusahakan bank-bank dan rentenir-rentenir serta mempropagandakan sulitnya membayangkan perekonomian di atas dasar lain. Sebenarnya, kesulitan ini hanya muncul, pertama, karena tidak adanya iman. Kedua, karena lemahnya pikiran dan ketidakmampuan melepaskan diri dari pikiran keliru yang diusahakan dengan sungguh-sungguh oleh para rentenir untuk menyebarkannya. Karena, mereka menguasai media massa dan punya kekuasaan untuk memasukkan pengaruhnya ke dalam berbagai pemerintahan negara-negara di dunia, juga memiliki sarana-sarana promosi umum dan khusus.

Hakikat kedelapan, menganggap mustahil berlangsungnya perekonomian dunia hari ini dan yang akan datang tanpa didasarkan atas sistem riba, hanyalah anggapan bersitat khurafat belaka, atau kebohongan besar yang terus dilestarikan. Apabila niatnya benar, dan terdapat tekad yang kuat bagi manusia [atau umat Islam memliki kemauan yang kuat] untuk merebut kembali kemerdekaannya dari cengkeraman sistem riba dunia, serta menginginkan kebaikan, kebahagiaan, dan berkah di samping akhlak yang suci dan masyarakat yang bersih, maka kesempatannya senantiasa terbuka untuk menegakkan sistem lain yang benar dan lurus.

Pada artikel selanjutnya akan dibahas bagaimana Islam memerangi keburukan yang telah menyebabkan manusia ditimpa bencana yang belum pernah dialami sebelumnya karena praktek riba.

Sumber: Tafsir Fi Zhilalil Qur’an oleh Sayyid Quthb

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *