“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu sekaligus dari hamba-Nya, tetapi Dia mencabut ilmu tersebut dengan diwafatkannya para ulama. Sehingga tidak ada satu ulama pun yang tersisa. Pada saat itulah manusia mengangkat pemimpin dari mereka yang bodoh. Dan pada saat pimpinan yang bodoh tersebut ditanyai, maka para pemimpin tersebut memberikan fatwa tanpa berdasarkan ilmu, sehingga mereka tersesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari)
Hadits ini dengan jelas menunjukkan gambaran tentang dicabutnya ilmu dengan diwafatkannya para ulama yang memiliki ilmu tersebut. Pada dasarnya ilmu merupakan sesuatu yang diwariskan dari generasi ke generasi, ketika satu generasi siap untuk menerima ilmu tersebut dari generasi sebelumnya. Namun apabila generasi pewarisnya bermalas-malasan dalam mencarinya dan enggan menempuh resikonya, maka dapat dipastikan ilmu tersebut hanya akan berada pada orang yang memilikinya saja. Dengan demikian, matinya seorang ulama yang belum mewariskan ilmunya kepada generasi setelahnya pada suatu zaman berarti terangkatnya semua ilmu yang ada pada dirinya.
Dengan meninggalnya seorang ulama seperti inilah yang membuat para penuntut ilmu kesulitan untuk mencari para pakar lainnya yang ahli dalam suatu bidang ilmu tertentu. Dan sekali lagi, inilah yang dimaksud dengan diangkatnya ilmu. Dengan begitu, urusan fatwa yang merupakan tingkatan ilmu tertinggi akan jatuh di bawah kekuasaan orang-orang yang bodoh. Di tangan mereka inilah manusia menjadi tersesat.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ath-Thabrani dari Abu Umamah, Rasulullah menyampaikan hal tersebut dalam kesempatan Haji Wada’.
“Pada saat Haji Wada’, Rasulullah berada di depan orang-orang dengan memboncengkan Al-Fadhl bin Abbas di atas satu unta yang berwarna putih agak gelap. Beliau bersabda, ‘Wahai manusia, tuntutlah ilmu sebelum ilmu tersebut dicabut dan diangkat!’ Maka ada seorang badui Arab menyela sabda beliau, ‘Wahai Nabi Allah, bagaimana mungkin ilmu itu diangkat, sedangkan di sisi kami terdapat lembar-lembar catatan dan kami pun telah mengajarkan kepada istri-istri kami, anak-anak kami, dan bahkan para pembantu kami?’ Maka Rasulullah menengadahkan mukanya dan terlihat dari rona mukanya yang memerah, pertanda beliau
sedang marah. Kemudian beliau bersabda, ‘Duh, celaka kamu ini. Lihatlah orang-orang Yahudi dan Nasrani itu, bukankah di sisi mereka juga terdapat lembar-lembar catatan, namun demikian tak ada satu huruf pun di antara catatan tersebut yang hinggap di hati mereka dari apa yang telah diajarkan oleh nabi-nabi mereka. Ingatlah, sungguh, hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya orang yang memilikinya (beliau mengatakan hal ini sebanyak 3 kali).’” (HR. Ahmad)
Hadits ini menunjukkan betapa pentingnya orang yang berilmu hadir dan menetap dalam sebuah komunitas masyarakat. Di samping itu, hadits ini juga mengisyaratkan betapa pentingnya kehadiran seorang pakar meskipun di tengah-tengah mereka telah tersedia berbagai catatan (literatur). Sebab mereka inilah yang akan menjelaskan maksud dari semua isi catatan tersebut.
Dalam hadits lain disebutkan, bahwa dicabutnya ilmu ini adalah salah satu penyebab bagi kemusnahan suatu bangsa, di samping ia juga mengakibatkan umat tersebut akan menyimpang jauh dari jalan yang telah ditetapkan oleh Allah dan syariah-Nya.
“Umatku ini akan konsekuen terhadap syariah selama di tengah-tengah mereka tidak terdapat 3 perkara: selama ilmu belum dicabut dari mereka, selama di tengah mereka tidak banyak terdapat anak hasil dari hubungan zina, dan selama di tengah mereka tidak terdapat para shaqqarun. Seseorang bertanya kepada Rasulullah ‘Siapakah shaqqarun (atau shaqlawun- keraguan perawi) itu, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Mereka ini adalah orang-orang di akhir zaman yang menjadikan salam penghormatan mereka dengan saling melaknat.’” (HR. Ahmad)
Dicabutnya ilmu sebagai tanda datangnya hari Kiamat dapat ditafsir bahwa hal itu telah berlangsung sejak sepeninggal Isa nanti ketika sudah turun kembali ke bumi, dimana pada saat itu ilmu sedikit demi sedikit mulai pudar, banyak para ulama yang wafat, Al-Qur’an diangkat, kemudian yang terakhir hilangnya simbol-simbol agama dari kehidupan manusia. Sehingga, tidak terdapat satu orang pun yang mengucap kalimat tauhid atau menyebut asma Allah. Pada saat itulah hari Kiamat benar-benar akan tiba.
Kemungkinan yang lain mengatakan bahwa maksud dari hadits di atas adalah seperti kondisi yang kita alami sekarang ini atau beberapa dasawarsa yang lalu, yaitu kondisi ketika semakin langkanya para ulama yang mengabdikan dirinya kepada Allah. Meskipun sekarang ini banyak para pakar yang mengaku dirinya sebagai ulama, tetapi sedikit sekali di antara mereka yang mampu membuktikan dirinya sebagai pengemban risalah serta fokus terhadap tujuan dan ilmu yang dibawanya, yaitu mencari ridha Allah dan negeri akhirat. Tentunya, hilangnya semangat seperti ini dari kalangan ulama lebih besar bahayanya daripada dicabutnya ilmu itu sendiri.
Al-Bukhari menukil perkataan Rabi’ah Ar-Ra’yi, dia berkata, “Hendaknya tidak seorang pun yang ada pada dirinya ilmu walaupun hanya sedikit berperilaku menyia-nyiakan dirinya.”
Kemudian oleh Ibnu Hajar perkataan ini dikomentari, “Maksud yang diucapkan oleh Rabiah itu adalah hendaknya seorang yang berilmu tidak menyia-nyiakan dirinya dengan meninggalkan aktivitas mendalami ilmunya tadi. Hal ini bertujuan agar apa yang telah dia dapatkan itu tidak menjadi sebab dari diangkatnya ilmu. Atau bisa juga maksud dari perkataannya itu hendaknya seorang yang berilmu itu menyebarkan kepandaiannya kepada keluarga dan masyarakat sekitar sebelum dia mati. Dengan demikian dia tidak menjadi sebab dari dicabutnya ilmu. Atau bisa jadi maksud pernyataannya itu hendaknya orang yang berilmu itu memperkenalkan dirinya kepada khalayak ramai agar orang-orang di sekitarnya mengambil ilmu darinya dan dia dapat mewariskannya kepada semua orang sebelum dia mati. Atau hendaknya orang yang berilmu tadi mengagungkan ilmu dan tidak merendahkannya dengan menjadikan ilmunya sebagai barang komoditi yang diperjual-belikan dengan harta dunia.”
Termasuk tanda-tanda diangkatnya ilmu adalah tidak menerapkannya dalam kehidupan nyata. Hal seperti inilah yang pernah dinyatakan dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Umamah. Hadits tersebut mengisyaratkan umat Islam tidak lagi menerapkan Al-Qur’an dalam kehidupan nyata sebagaimana kaum Yahudi dan Nasrani juga tidak menerapkan apa yang menjadi isi Taurat dan Injil.
Inilah yang menjadi sekat antara tataran wacana dan praktik di lapangan. Maksudnya, apabila ilmu tidak diterjemahkan dalam kehidupan nyata berarti sama halnya dengan memandulkan ilmu itu sendiri dan hanya menjadi hujah bagi orang yang memilikinya saja layaknya keledai yang membawa catatan. Kenyataan ini juga diperkuat oleh fenomena beberapa periwayatan hadits yang oleh perawinya hanya diriwayatkan saja tanpa mengamalkan isi hadits tersebut.
Demikian juga mencari dunia dengan ilmu merupakan salah satu sebab diangkatnya sebuah ilmu. Artinya, ilmu tersebut dilipat oleh mereka yang mempunyainya dan digunakan sebagai sarana untuk mencari nafkah dengan menukar ilmunya untuk mendapatkan kesenangan dunia.
Kecenderungan yang seperti inilah umat Islam sedang diuji sekarang ini sekaligus merupakan penyakit yang paling berbahaya. Sebab para ulama adalah rujukan terpercaya dalam soal agama sehingga sudah semestinya mereka ini hanya menjual ilmunya kepada Allah dan demi kejayaan agama-Nya. Di samping itu dengan ilmu yang mereka miliki, mereka dapat mengarahkan manusia dari orientasi kepada dunia yang fana menuju kehidupan akhirat yang kekal. Posisi strategis seperti inilah yang merupakan sesuatu yang paling berharga dari apa yang pernah diwarisi para ulama dari para nabi.
Apabila ilmu sudah hilang dari tangan orang yang dipercaya berarti bencana besar telah menanti. Sebagai kelanjutannya, bagi mereka yang berilmu akan terpacu untuk menginvestasikan ilmu tersebut untuk kepentingan dunia dan mengeksploitasinya semata-mata demi kepentingan ini. Akibatnya yang haram menjadi halal dan hanya mencari kemudahan belaka. Atas nama ilmu dan agama mereka memalingkan manusia dari tuntunan agama Allah dan merusak akhirat mereka dengan termotivasi untuk menggapai perhiasan dunia.
Untuk mengakhiri kajian ini, kita sangat terkesan dengan apa yang dikutip oleh Ad-Darimi dari Ibad bin Ibad Al-Khawash Asy-Syami kepada para ulama di zamannya, dia berkata, “Bertakwalah kalian kepada Allah, karena sesungguhnya kalian berada di zaman di mana kewara’an (sifat orang yang meninggalkan hal-hal yang meragukan) adalah perkara yang langka, kekhusyukan jarang ditemui, sedangkan orang yang mempunyai ilmu justru merekalah yang merusak ilmu tersebut.”
Sumber: Ensiklopedi Akhir Zaman karya Muhammad Ahmad Al-Mubayyadh