Hisyam bin Abdul Malik, Khalifah Kesepuluh Daulat Umayyah, ingin menguji seberapa kuat hapalan Imam az-Zuhri, seorang ahli hadits di masanya. Sang Khalifah ingin az-Zuhri mendiktekan hadits kepada anaknya dengan dibantu seorang juru tulis tanpa melihat catatan. Dengan lancarnya Imam az-Zuhri mendiktekan empat ratus hadits Rasulullah SAW. Beberapa bulan kemudian, Khalifah Hisyam kembali memanggil Imam az-Zuhri. Kepadanya Khalifah berpura-pura menyatakan kekecewaannya lantaran hilangnya catatan empat ratus hadits beberapa waktu yang lalu yang didiktekan sang Imam. Menanggapi keluhan tersebut, Imam az-Zuhri menjawab, “Anda tidak usah khawatir, saya masih cukup segar menghafalnya. Yang penting siapkan saja jurutulis untuk saya diktekan lagi!”
Setelah segalanya siap, Imam az-Zuhri mulai mendiktekan empat ratus hadits yang kata sang Khalifah hilang. Si juru tulis mencatatnya dengan cermat setiap kata yang keluar dari lisan sang Imam. Setelah selesai, diserahkanlah catatan itu kepada Khalifah Hisyam. Khalifah mengecek dan mengkonfrontasikan dokumen baru itu dengan catatan lamanya. Ternyata hasilnya luar biasa. Tak ada satu kata pun yang berbeda antara catatan yang lama dan yang baru. Kedua catatan yang berisi empat ratus hadits itu persis sama! Atas dasar itulah Khalifah Hisyam menyuruh sang Imam mengajarkan hadits kepada anaknya.
Imam az-Zuhri adalah orang pertama yang membukukan hadits. Langkahnya diikuti pakar-pakar hadits sesudahnya sehingga lahirlah kitab-kitab hadits mu’tabar. Di antaranya, al-Muwaththa’ susunan Imam Malik, Shahih Bukhary oleh Imam Bukhary, Shahih Muslim oleh Imam Muslim, dan kitab-kitab hadits lainnya yang tak terhitung jumlahnya.
Sebagian besar hadits yang diriwayatkannya jarang diriwayatkan orang lain. Dengan demikian, haditsnya akan melengkapi dan memperkaya hadits lain. Imam az-Zuhri amat cermat menilai sanad hadits. Dialah yang mendorong agar perawi menyebutkan sanad ketika meriwayatkan hadits. Sebab, tanpa sanad siapa pun bisa berbicara apa saja yang dimaui tanpa diketahui apakah itu hadits shahih atau bukan.
Banyak hal yang bisa kita teladani dari sosok perawi hadits ini. Di antaranya, ketajaman otaknya dan kekuatan hapalannya yang tak tertandingi. Dengan kekuatan hapalan yang luar biasa itu, Imam az-Zuhri berhasil menghafal al-Qur’an hanya dalam waktu delapan puluh satu hari, sungguh luar biasa!
Selain itu, Imam az-Zuhri merupakan sosok pengabdi hadits sejati. Ia mempunyai kumpulan hadits yang jumlahnya mencapai dua ribu lebih. Ia juga mengkader murid-muridnya dengan jalan mengajar, membiayai, dan memfasilitasi segela keperluan yang mereka butuhkan. Dalam hal ini Imam Malik menuturkan, Imam az-Zuhri mengumpulkan orang-orang yang belajar hadits dan memberikan makanan dan perlengkapan lainnya dalam musim dingin atau musim panas.
Imam Malik sendiri pernah memberikan kesaksian akan kewibawaan Imam az-Zuhri, gurunya. “Jika Imam az-Zuhri memasuki Madinah, tak seorang pun ahli hadits yang berani menyampaikan hadits di depannya sampai ia beranjak keluar dari kota itu,” papar Imam Malik.
Masih menurut Imam Malik, jika sejumlah ulama senior datang ke Madinah, orang-orang tidak begitu antusias menyambut mereka dibandingkan dengan kedatangan Imam az-Zuhri. Jika Imam besar ini datang, maka penduduk pun beramai-ramai memohon fatwanya.
Pakar hadits yang bernama asli Muhammad bin Syihab az-Zuhri ini lahir pada 50 H pada periode akhir masa sahabat. Meskipun demikian ia sempat bertemu dengan beberapa sahabat ternama. Di antaranya mereka adalah Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, dan Sahal bin Saad. Mereka adalah ahli di bidang hadits. Disamping itu ia juga masih mendapatkan rujukan lain dari para tabiin senior seperti Abu Idris al-Khaulani, Salim bin Abdullah bin Umar, Said bin Musayyab, dan lainnya. Imam az-Zuhri wafat pada 124 H.
Sangat disayangkan, buah koleksi haditsnya hilang tak tentu rimba. Kita kehilangan perbendaharaan ilmu yang berharga melebihi emas dan perak.
Dalam keadaan seperti sekarang, mengharap lahirnya Imam az-Zuhri baru tentu bagai mimpi. Apalagi di tengah carut marutnya bangsa, kita juga sedang mengalami kelangkaan ulama sejati. Merekalah para ulama yang tak hanya mampu menguasai ilmu, tetapi juga bisa menjaganya. Tentu, menjadi penjaga ilmu jauh lebih sulit ketimbang menjadi pencarinya.
Untuk bangkit dari keterpurukan, para wanita di negeri ini harus rajin melahirkan sosok ulama sejati seperti Imam az-Zuhri. Merekalah yang akan membimbing para pemimpin bangsa untuk mengakhiri penderitaan. Itu, tak bisa terwujud dalam hitungan hari. Tapi melalui tarbiyah (pendidikan) panjang dan berkesinambungan yang kadang dipenuhi beragam rintangan. Wallahu a’lam.
Sumber: Majalah Sabili